Belajar Dari Pembunuh Ade Sara

Postingan ini bisa ada akibat diskusi “yang tiba-tiba” serius dengan Nona Kutu di sebuah store Burger King yang begitu ramai di hari sabtu malam, tepat sebelum nonton film ‘Her’ yang sedikit aneh.

Entah kenapa selepas makan BBQ Beefacon, obrolan Kutu dan Nona Kutu nyambung ke kasus Ade Sara, remaja yang dibunuh oleh mantan pacarnya sendiri. Kami berkesimpulan kalau tidaklah pas kalau kita membenci si pelaku, tapi kita justru seharusnya kasihan dan belajar dari kejadian ini. Lho koq?

Mungkin banyak yang heran, karena setiap kasus pembunuhan sufah sepantasnya si pelaku mendapatkan kebencian yang teramat sangat dari pihak korban. Tapi bila kita ingin berpikir lebih luas, hal tersebut tidak akan mengembalikan nyawa si korban kembali kan? Apalagi kasus Ade Sara ini bida dibilang sedikit spesial, karena motif dan usia pelakunya yang masih muda.

Setiap orang pasti akan merasa begitu ‘down’ ketika dikecewakan oleh orang lain. Entah itu karena nilai di sekolah yang buruk, atau baru saja dimarahi orang tua karena bandel di rumah, dan termasuk juga kekecewaan ketika putus cinta. Baca lebih lanjut

Masa Kampanye : Saat Indonesia Begitu Kotor

Judul di atas dibuat dengan begitu hati-hati, sehingga terdengar sedikit lebih halus dibandingkan dengan apa yang sebenarnya Kutu maksud. Indonesia (khususnya di Jakarta, tempat tinggal Kutu), akan menjadi begitu jorok, kotor, gembel, dan … silahkan sebut kata-kata buruk lainnya, setiap diadakannya event yang bernama Pemilu.

Selain maksud dan tujuan awalnya untuk memilih Presiden dan Wakil Rakyat, Pemilu benar-benar memberikan dampak buruk buat penduduk Indonesia. Habisnya dana negara sebanyak ratusan triliun rupiah (entah untuk apa saja), penuhnya rumah sakit jiwa oleh caleg-caleg gagal, dan ditambah lagi dengan penuhnya ruang publik dengan bendera, sticker, poster, spanduk, dan ornamen-ornamen kampanye lainnya yang begitu merusak pemandangan.

Anehnya, semua orang seperti tutup mata dengan hal ini. Memang sih, kalau hanya muncul dari perseorangan, misalnya ada 1 orang yang keliling mencabut ornamen-ornamen kampanye tersebut, malah akan menjadi masalah. Syukur-syukur orang itu gak sampai meninggal karena dihajar sampai babak belur oleh simpatisan partai atau caleg yang ornamennya dia cabut. Baca lebih lanjut

Locke dan Demosthenes

Cerita ini berawal dari perkenalan Kutu dengan Ender Wiggins, seorang anak-anak yang menjadi tokoh utama di film Ender’s Game. Yup, film … Kutu mengenal Ender pertama kali lewat film. Berasa sedikit gagal sebagai kutu buku karena sebenarnya film tersebut adalah adaptasi dari buku dengan judul yang sama, karangan Orson Scott Card. Dan di versi filmnya, tokoh Ender benar-benar ditonjolkan.

Dan seperti biasa, apa yang ada di buku sedikit berbeda dengan apa yang kita lihat di film. Karena film tersebut akhirnya Kutu bela-belain baca bukunya, dan baru tahu kalau ada karakter yang lebih menarik dibanding seorang Ender Wiggins, yaitu Demosthenes dan Locke. Dua tokoh itu tak lain adalah nama samaran dari kakak-kakak Ender sendiri di dunia maya, Peter Wiggins adalah Locke dan Valentine Wiggins adalah Demosthenes.

Berawal dari ide brilian Peter dalam rangka mewujudkan mimpinya menguasai dunia. Berkat kemampuannya mempengaruhi orang, Peter berhasil merayu Valentine yang mempunyai kemampuan hebat dalam menulis, untuk membuat artikel-artikel kontroversial. Mereka memilih nama Demosthenes sebagai nama samaran bagi Valentine, diambil dari nama seorang orator Yunani Kuno. Dengan tulisan-tulisannya, Demosthenes berusaha membangkitkan ketegangan politik antar negara di dunia, dan ia sukses besar. Peter sendiri memilih nama Locke untuk menyebarkan tulisan-tulisannya. Berbeda dengan Demosthenes yang frontal, Locke terkesan lebih nasionalis dan cinta damai. Dan dua persona itu benar-benar merubah kondisi dunia, di dalam buku Ender’s Game.

Menurut Kutu, yang suka menulis, konsep Orson Scott Card terkait Demosthenes dan Locke itu sangat menarik. Membuat sebuah persona di dunia maya, membuat isu, kemudian merubah dunia. Dengan begitu, kita bisa menyebarkan sebuah pemikiran tanpa harus ada orang yang menyerang pribadi nyata kita. Dan kemungkinan, Mr. Card juga melakukan itu, di luar cerita karangannya. Tapi, entah karena sudah begitu kesal atau hal-hal lainnya, Mr. Card juga terbiasa untuk meluapkan pemikiran-pemikiran kontroversialnya dengan nama dirinya sendiri.

Sedikit aneh sebenarnya, di mana ia membuat konsep akun anonim di buku karangannya, dengan semua kekurangan dan kelebihannya, tapi ia malah menunjukkan hal yang sebaliknya di dunia nyata. Tulisan-tulisan Mr. Card yang paling banyak disorot orang adalah soal penolakan terhadap pernikahan sesama jenis. Dan hal itu sendiri sudah membuat sedikit gejolak, hingga sampai membuat beberapa orang menolak membaca bukunya. Padahal, dia bisa menggunakan konsep akun anonim yang ia ciptakan dalam dunia fiksi, dan membuat pendapatnya jadi lebih banyak didengar orang, sekaligus menyelamatkan citra diri dan karya-karyanya. Ini murni soal konsep penyebaran pendapat lho, bukan artinya Kutu menyetujui atau menolak pendapat Mr. Card soal gay-marriage.

Kalau boleh nambahin protes sama Mr. Card, pengen numpahin uneg-uneg soal karakter Ender yang cengeng, tapi tiba-tiba kuat, bener-bener membingungkan. Sampai saat ini, konsep paling oke soal anak-anak dengan mental yang kuat, adalah karakter Wade Watts di Ready Player One.

Viva Parzival !!