Grit – Semangat dan Ketekunan yang Bisa Mengalahkan Para Jenius (Review Buku)

Perseverance Grit

Jujur saja, pada awalnya saya tidak tertarik untuk membaca buku ini. Utamanya karena desain sampul buku tersebut yang terkesan seperti buku pelajaran di bangku kuliah. Siapa sangka buku ini ditulis oleh seorang profesor psikologi bernama Angela Duckworth, dan mengangkat tema kesukaan saya, yaitu tentang cara “pintar” untuk meraih kesuksesan.

Saya mulai tertarik membaca Grit ketika melihat CEO MatahariMall, Hadi Wenas, mereferensikan buku ini di media sosial miliknya. Karena itu saya pun membeli buku tersebut, tentunya setelah sang penerbit mengeluarkan desain sampul yang berbeda.

Buku ini sempat terabaikan di rak buku karena saya sedang asyik dengan 1Q84 karya Haruki Murakami. Saya baru mendapat kesempatan membaca Grit dalam perjalanan ke Semarang dan Jogja beberapa hari yang lalu. Dan keputusan tersebut ternyata tidak salah. Saya pun kembali dengan sebuah pemikiran baru yang menyenangkan.

Grit

Grit

Angela Duckworth

Vermilion, Penguin Random House

Terbitan pertama 4 Mei 2016

352 halaman

Apa itu Grit?

Grit sendiri adalah istilah yang digunakan Duckworth untuk semangat dan ketekunan yang dimiliki oleh seseorang ketika tengah melakukan sesuatu. Menurut hipotesa Duckworth, orang yang bersemangat dan tekun cenderung lebih sukses dibanding orang lain yang mempunyai potensi alami (jenius) namun tidak mengiringinya dengan ketekunan.

Untuk membuktikan hipotesa tersebut, Duckworth pun melakukan penelitian terhadap para tentara yang mampu bertahan dalam kamp pelatihan West Point, peserta kompetisi mengeja National Spelling Bee, para kartunis The New Yorker, hingga tim american football Seattle Seahawks. Ia bahkan membuat sebuah alat uji khusus yang disebut Grit Scale.

Hasilnya, orang-orang dengan Grit Scale yang tinggi cenderung lebih sukses dibanding rekan mereka, terlepas dari tingkat kesejahteraan keluarga mereka, hingga berapa IQ yang mereka miliki. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan yang harus kamu jawab dalam pengujian Grit Scale:

  • Apakah ide dan proyek baru bisa mengalihkan perhatian kamu dari apa yang kamu kerjakan saat ini?
  • Apakah kamu kesulitan menjaga fokus ketika mengerjakan proyek yang butuh waktu beberapa bulan untuk selesai?
  • Apakah kamu sering terobsesi dengan suatu hal, namun tak lama kemudian justru kehilangan minat terhadapnya?

Menurut Duckworth, ketekunan untuk berlatih keras dalam bidang apapun, merupakan wujud nyata dari Grit. Seorang atlet dengan ketekunan tinggi tentu akan menghabiskan waktu yang lebih lama untuk berlatih. Seorang kartunis yang mempunyai semangat tentu tidak akan menyerah meski telah banyak karya mereka yang ditolak penerbit.

Hal ini pun membuat saya berpikir, apakah saya merupakan seseorang dengan Grit yang rendah? Jujur, saya termasuk orang yang kesulitan untuk menjaga fokus ketika melakukan sesuatu. Ketika itu terjadi, saya cenderung untuk beralih ke pekerjaan yang lain.

Setelah membaca buku ini, sepertinya saya harus menghentikan kebiasaan tersebut. Untungya menurut Duckworth, Grit sendiri bisa ditumbuhkan. Caranya adalah dengan menetapkan target yang tinggi, kemudian bekerja keras untuk mencapai target tersebut, tidak hanya dalam waktu sehari atau sebulan, namun selama bertahun-tahun.

Baiklah, akan saya lakukan!

“Gunakan kegagalan dan masalah sebagai kesempatan untuk menjadi lebih baik, bukan alasan untuk menyerah.”

Kisah Ta Nehisi Coates

Ta Nehisi Coates

Untungnya, di akhir buku, Duckworth pun menceritakan kisah tentang seorang penulis bernama Ta Nehisi Coates. Karena saya sendiri kini berprofesi sebagai jurnalis dan penulis, maka saya pun merasa bisa mengambil inspirasi dari cerita tersebut.

Delapan tahun yang lalu, Coates dipecat oleh majalah Time. Meski sang istri tetap mendukungnya, namun Coates tetap merasa bingung karena mereka pun telah mempunyai anak yang harus diberi nafkah.

“Saya membenturkan kepala ke dinding, namun tidak ada juga ide tulisan yang keluar. Saya bahkan sempat berpikir untuk banting setir menjadi seorang pengemudi taksi.”

Namun Coates akhirnya berhasil bangkit. Ia mencurahkan rasa frustasinya ke dalam sebuah buku, yang akhirnya justru menjadi kisah yang kuat. Menurut Coates, setiap proses menulis sebenarnya merupakan petualangan dari sebuah kegagalan ke kegagalan lain.

“Di awal, sebuah tulisan pasti akan berantakan, yang kemudian memenuhi pikiran kamu saat tidur. Ketika bangun, kamu harus membenahi tulisan tersebut. Jika beruntung, tulisan tersebut akan membaik, namun jika tidak maka kamu harus terus membenahinya. Lakukan itu terus menerus, hingga akhirnya tulisan kamu pun layak dibaca orang lain,” jelas Coates.


Sebagai tambahan setelah membaca Grit, ada baiknya kamu juga membaca buku lain dengan tema yang seperti melengkapi buku ini. Saya sarankan untuk membaca The Power of Habit karya Charles Duhigg dan Outliers karya Malcolm Gladwell. Selain itu, coba saksikan juga rekaman ulasan tentang Grit yang disampaikan oleh Angela Duckworth di TED Talk yang tersedia di YouTube.

Penggemar Stand Up Comedy yang Tidak Menikmati Grand Final SUCI 5

Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) merupakan sebuah acara pencarian bakat yang diselenggarakan oleh Kompas TV, untuk mencari bakat-bakat Stand Up Comedy dalam negeri. Kontes ini sejak awal dimaksudkan untuk menjaga ‘obor’ Stand Up Comedy agar tetap berkobar di Indonesia, agar masyarakat Indonesia tetap sadar akan keberadaan dan bakat dari para komika, sebutan bagi performer dalam dunia Stand Up Comedy, di Indonesia. Dan dalam hal ini, SUCI sukses menjalankan misinya, hingga sekarang makin banyak masyarakat Indonesia yang mengenal Stand Up Comedy, terutama kalangan anak muda. Setelah 5 season penayangan SUCI, kita bisa melihat peningkatan jumlah komika, komunitas-komunitas komika, hingga makin banyaknya jumlah acara-acara Stand Up Comedy baik yang ditayangkan di televisi maupun yang tidak. Secara umum, dunia Stand Up Comedy harus banyak berterima kasih kepada SUCI.

Penulis sendiri adalah salah satu penggemar Stand Up Comedy, sejak masa-masa awal perkembangannya. Saya masih ingat ketika satu-satunya komika yang bisa saya tonton videonya hanyalah Pandji Pragiwaksono, yang itu pun direkam dengan peralatan seadanya, namun tetap saja saya putar berkali-kali karena begitu menarik. Adik saya sendiri pun merupakan salah satu komika dan pendiri komunitas Stand Up Comedy di Indonesia. Berbagai video Stand Up Comedy lengkap di dalam laptop saya, mulai dari rekaman show-show Stand Up Comedy di televisi lokal, hingga video komika terkenal di Inggris, Michael McIntyre. Bisa dibilang saya adalah salah satu fans berat Stand Up Comedy.

Karena itulah dalam artikel ini saya ingin mengungkapkan kegundahan saya terkait pelaksanaan acara Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Season 5, terutama pada Grand Final yang berlangsung baru-baru ini. Hal ini ternyata juga dirasakan oleh banyak penggemar Stand Up Comedy lainnya, seperti yang saya lihat di berbagai social media.

Kegundahan pertama saya adalah soal mental para peserta yang sepertinya begitu tertekan dengan judul Grand Final. Rigen, Rahmed, dan Indra tampil tertekan, dan tidak bisa lepas seperti penampilan-penampilan mereka sebelumnya. Beberapa kali mereka gagal mengeksekusi bit-bit yang sebenarnya menarik. Kalau boleh dibilang, acara Grand Final ini merupakan salah satu penampilan mereka yang terburuk sepanjang SUCI. Para peserta tersebut seharusnya menganggap SUCI ini bukan sebagai kompetisi di mana mereka harus memperebutkan hadiah, namun anggaplah ini sebagai sebuah show, di mana mereka bisa bersenang-senang menampilkan bit-bit lucu yang mengundang tawa penonton.

Kegundahan saya yang lain adalah terkait skema kompetisi SUCI, terutama di Grand Final ini. Sejak episode-episode sebelumnya, SUCI berkali-kali memberlakukan aturan-aturan khusus terkait performance dari para komika. Contohnya, ada episode tertentu di mana para komika harus menampilkan Impersonate (menirukan gaya orang lain), Call Back (pengulangan punchline yang lucu dari bit sebelumnya), dan lain-lain. Sebenarnya, pemberlakuan aturan ini maksudnya baik, yaitu agar finalis SUCI punya kemampuan yang lengkap sebagai komika. Namun aturan ini juga menyimpan masalah, karena misalnya ada komika yang lucu dan memberikan penampilan yang maksimal namun ia lupa / sengaja tidak memenuhi aturan tersebut, pantaskah ia dieliminasi? Hal ini terjadi pada Dodit di SUCI 4 dan Dicky di SUCI 5, mereka tampil baik dan lucu namun mereka gagal memenuhi aturan yang diberikan, dan mereka diputuskan untuk dieliminasi dari kompetisi tersebut.

Aturan lain yang sering diberikan adalah para penampil harus bekerja sama dalam tim untuk menciptakan sebuah Sitcom (Situation Comedy). Sebagai sebuah sajian alternative comedy, hal ini terlihat menarik. Namun pantaskah seorang komika dinilai dari bakat mereka dalam Sitcom? Bukankah Stand Up Comedy adalah kompetisi Stand Up di mana alaminya setiap komika selalu tampil sendiri? Sayangnya Kompas TV seperti mengarahkan SUCI ini menjadi kompetisi lawak yang umum dengan berbagai aturan yang mereka buat. 

Hal ini memuncak di Grand Final, di mana semua finalis nge-bom (gagal lucu) ketika harus melakukan Sitcom. Di Grand Final tersebut bahkan ada 1 sesi di mana setiap finalis harus menampilkan 6 teknik Stand Up dalam waktu 7 menit. Hasilnya? Saya tidak bisa menikmati.

Coba kalian bayangkan dalam dunia Tenis, ada berbagai macam skill memukul bola seperti groundstroke, slice, lob, smash, dropshot, down the line, dan lain-lain. Setiap pemain tenis punya kelebihan dalam skill-skill tertentu, dan kelemahan di skill-skill lainnya. Lalu darimana performa mereka dilihat? Jelas dari beberapa kali mereka memenangkan kejuaraan, bukan dari seberapa lengkap skill yang mereka kuasai. Dalam dunia standup, mungkin hitungannya adalah seberapa keras tawa penonton. Memang ada beberapa bidang yang sering mengadu skill-skill khusus para pemainnya, seperti dunia basket yang sering mengadakan kompetisi slam dunk, 3-point, dan lain lain, itu pun hanya setahun sekali saat NBA All Star. Dan sejauh ini saya belum pernah melihat kompetisi basket di mana seorang pemain harus menunjukkan seluruh skill mulai dari layup, slamdunk, 3-points shoot, rebound, dan blocking dalam waktu 10 menit. Dewa sepakbola saat ini, Lionel Messi, bahkan tidak menguasai beberapa skill sepakbola seperti tackling dan kurang pandai dalam adu bola di udara.

Saya mengharapkan Kompas TV bisa menyadari hal ini, dan melakukan perubahan di SUCI berikunya. Mengapa? Karena kami butuh komika yang lucu, bukan komika yang taat aturan. Teknik-teknik Stand Up Comedy yang ditetapkan Kompas TV hanyalah alat bantu untuk membuat sebuah materi menjadi lucu. Penerapannya harus diserahkan kepada para komika, entah bagaimana caranya agar mereka tetap terlihat lucu dalam setiap penampilannya. Bahkan terkadang para penonton menyukai hal-hal absurd yang tidak bisa dijelaskan oleh teknik-teknik tersebut, dan hal itu lucu. Cukuplah teknik-teknik tersebut diperiksa ketika proses audisi, namun ketika show biarkan mereka ‘menggila’ sesuai dengan karakter mereka masing-masing.

Terakhir, kita harus mengingat semboyan SUCI yang selalu didengungkan di setiap episode, Let’s Make Laugh. Sejauh ini setahu saya belum berubah menjadi Let’s Follow Rule.

Alien Itu Memilihku, Sebuah Review

Alien Itu MemilihkuEwing Sarcoma, sebuah jenis kanker tulang yang membuat para dokter sampai enggan untuk membicarakannya karena begitu kecilnya kemungkinan untuk hidup bila kita sudah terkena kanker jenis tersebut. Bisa bertahan dari kanker tersebut untuk waktu yang lama saja sudah merupakan keajaiban, apalagi bila akhirnya ada yang benar-benar sembuh dari penyakit tersebut, percayalah kalau Tuhan sedang menunjukkan karuniaNya.

Hal itulah yang coba diceritakan Feby Indirani dalam buku terbarunya, “Alien Itu Memilihku”. Di dalam buku tersebut, Feby coba menceritakan tentang kisah seorang penderita kanker jenis Ewing Sarcoma yang bernama Indah Melati Setiawan. Indah bukanlah seorang selebritis atau tokoh terkenal, ia hanya seorang biasa yang akhirnya bisa melepaskan diri dari belenggu seorang Alien yang berwujud kanker. Feby menyebut kanker yang diterima Indah sebagai seorang Alien bukannya tanpa sebab. Sifat Kanker yang hinggap di sebuah inang dan akhirnya tumbuh dengan menyedot sumber-sumber kehidupan dari inangnya tersebut, sangatlah mirip dengan cara hidup Alien.

“Mereka bertujuan untuk merusak tubuh. Ya, Kanker memang adalah alien.” (Hal. 78)

Kenyataan kalau seorang Indah Melati Setiawan harus mengidap kanker jenis Ewing Sarcoma sendiri, awalnya sulit untuk diterima. Ewing Sarcoma biasanya mendera anak-anak berusia 10 sampai 20 tahun yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan Indah, ketika terjangkit kanker, adalah seorang perempuan yang berumur 30 tahunan. Ia sedang berada di usia yang tepat untuk menaiki anak tangga menuju puncak kesuksesan saat kanker tersebut merebut segalanya dan memaksanya untuk berbaring di ranjang pesakitan dalam jangka waktu yang lama.

“Hidupku tidak lagi bisa disebut membosankan. Mengerikan, kini lebih tepat.” (Hal. 76)

Semua berawal di tahun 2009 ketika Indah baru saja selesai berolahraga dan merasakan rasa sakit di paha kirinya. Berbagai cara ia coba untuk menghilangkannya, mulai dari menggunakan obat penghilang rasa sakit, berobat ke dokter, sampai mengunjungi beberapa shinsei (pengobatan alternatif), namun semuanya tidak menunjukkan perbaikan. Paha Indah pun makin membesar, dan akhirnya ia langsung dibawa ke sebuah rumah sakit di Singapura. Ia pun divonis menderita kanker tulang ganas jenis Ewing Sarcoma dan kakinya terancam untuk diamputasi.

“Boleh jadi sel-sel tubuhku kini memilih mengkhianatiku. Namun jauh sebelum itu, cinta telah lebih dulu melakukannya.” (Hal. 53)

Dalam buku ini, Feby menceritakan bagaimana perasaan Indah tentang perbedaan agama, perbedaan ras, hingga bagaimana Indah sangat menyesal ketika menolak cinta seseorang yang sebenarnya begitu ia sayang. Keseluruhan proses tersebut-lah yang membentuk Indah, hingga akhirnya ia bisa menjadi pribadi yang kuat, dan berhasil melewati ujian berat ini.

“Tumor di kaki anda sangat besar, salah satu yang terbesar yang pernah saya tangani.” (Hal. 120)

Pada akhir 2010, kondisi Indah semakin parah hingga dokter pun memutuskan untuk melakukan operasi pengangkatan kanker yang bersarang di paha kiri Indah. Operasi tersebut berjalan dengan lancar, namun itu bukanlah akhir dari perjuangan Indah. Setelah operasi tersebut, ia harus menjalani Kemoterapi, sebuah proses penghancuran sisa-sisa sel kanker dengan obat yang sangat keras. Begitu kerasnya obat tersebut, sampai-sampai si pasien juga akan merasakan sakit yang luar biasa. Kemoterapi sendiri merupakan sebuah proses yang panjang dan memakan waktu lama, dan karenanya Indah hampir saja menyerah. Beruntung, Indah masih mempunyai semangat yang besar untuk tetap hidup, serta keluarga yang begitu menyayanginya. Ia pun berhasil menjalani seluruh rangkaian Kemoterapi dengan hasil yang menggembirakan.

Membuat sebuah memoar bukanlah sesuatu yang mudah, karena si penulis harus bisa menggali cerita tersebut sedalam mungkin hingga menemukan sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Dan Feby Indirani berhasil melakukannya dengan baik dalam buku “Alien Itu Memilihku” ini. Di dalamnya juga ditampilkan beberapa ilustrasi yang bisa membantu pembaca untuk mengikuti jalan cerita.

Kisah di dalam buku ini sejalan dengan buku-buku lain yang juga bercerita soal penderita kanker seperti The Fault in Our Stars karangan John Green. Semuanya menceritakan bagaimana perjuangan para penderita kanker untuk melawan serangan Alien yang hinggap di tubuh mereka. Mereka semua punya kisah yang unik, alami, dan bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk bisa menjalani hidup dengan penuh semangat, tak peduli cobaan apapun yang menghadang kita.

Feby Indirani (Penulis) bersama Indah Melati Setiawan (Narasumber)

Feby Indirani (Penulis) bersama Indah Melati Setiawan (Narasumber)